Senin, 20 Juli 2009

Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Bandung

1. Pengertian Izin dan Izin Mendirikan Bangunan.

Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Menurut Sjahcran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikaskan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan.[1]
[1] Sjachran Basah, Pencabutan...,op.cit., hlm. 3.
Adapun yang dimaksud dengan perizinan menurut penulis adalah: Melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di bidang Hukum Publik yang berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.
Menurut Prins :
” Verguinning adalah keputusan Administrasi Negara berupa aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan tapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang kongkrit, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut bersifat suatu izin ”.

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 14 Tahun 1998 Pasal 1 huruf N pengertian bangunan adalah :” Bangunan adalah suatu perwujudan fisik yang digunakan sebagai sarana kegiatan manusia ”.
Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat. Sedangkan pengertian mendirikan bangunan sebagaimana yang diatur dalam Perda ini adalah : ”Pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan”.
Jadi izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.
Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan diatur oleh Perda setempat dimana bangunan itu akan didirikan. Namun pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan atau undang-undang yang secara garis besar/umum dan menjadi dasar pembentukan peraturan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Dari bunyi Pasal 18 tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Indonesia di bagi dalam daerah provinsi. Provinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil, dan setiap daerah tersebut diberi kebebasan untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya baik berupa Daerah Otonomi maupun Administratif.
2. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan

Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh penjabat yang berwenang.

Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu :

1. Dari sisi pemerintah
2. Dari sisi masyarakat
Dari Sisi Pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah :

a. Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. Izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.[1]
[1] Prajudi Atmosudirdjo, op. cit., hlm 23
b. Sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan adanya permintaan permohonan izin maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan.

Dari Sisi Masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah:

  • Untuk adanya kepastian hukum.
  • Untuk adanya kepastian hak.
  • Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.


Bila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai fungsi masing-masing. Begitu pula halnya dengan ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu :

A. sebagai fungsi penertib
B. sebagai fungsi pengatur

Fungsi penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.


Fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Hal ini disesuaikan dengan rencana pemerintah. Yang dimaksud dengan rencana adalah salah satu bentuk dari perbuatan hukum administrasi negara yang menciptakan hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.[1]
[1] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara hlm 99

Tujuan izin mendirikan bangunan adalah untuk melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang dutujukan atas kepentingan hak atas tanah.

Sedangkan fungsi dari izin bangunan ini dapat dilihat dalam beberapa hal :

1. Segi Teknis Perkotaan

Pemberian izin mendirikan banguan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan merencanakan pembangunan perumahan diwilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Master Plan Kota.

Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan sutau pembangunan diatas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki izin mendirikan bengunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K).

Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini, maka pemerintah didarah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata denga rapi serta menjamin keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembengunan perkotaan. Penyesuaian pemberian izin mendirikan bengunan dengan Master Plan Kota akan memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam melaksanakan pembangunan kota.

2. Segi Kepastian Hukum

Izin mendirikan bangunan penting artinya sebagai pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya. Bagi masyarakat pentingnya izin mendirikan bangunan ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak bangunan yang dilakukan sehingga tidak adanya gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain dan akan memungkinkan untuk mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam pelaksanaan usaha atau pekerjaan.

Selain itu izin mendirikan bangunan tersebut bagi sipemilknya dapat berfungsi sebagai :
a. bukti milik bangunan yang sah
b. kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal :

1. Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk kepentingan hukum.

2. Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainya yang berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

3. Segi Pendapatan Daerah

Dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Melalui pemberian izin ini dapat dipungut retribusi izin mendirikan bangunan.

Retribusi atas izin mendirikan bangunan itu ditetapkan berdasarkan persentase dari taksiran biaya bangunan yang dibedakan menurut fungsi bangunan tersebut. Retribusi izin mendirikan bangunan dibebankan kepada setiap orang atau badan hukum yang namanya tecantum dalam surat izin yang dikeluarkan itu.

4. Landasan Hukum Perizinan Di Indonesia Dalam Kaitan Dengan Otonomi Daerah

Mengenai pengaturan dari perizinan ini dapat kita tinjau satu persatu sesuai dengan jenis izinnya masing-masing, secara ringkas pengaturan perizinan dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Hindeer Ordonantie/Undang-Undang Gangguan

Diundangkan pada tanggal 13 Juni 1926, Stb Nomor 226 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1926, dirubah paling akhir dengan stb tahun 1940, Ordonantie ini mengatur masalah perizinan apabila seseorang atau badan hukum akan mendirikan tempat usaha.

2. SVO (Staat Verinig Ordonantie)
Mengatur mengenai masalah pembinaan kota.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / AMDAL.

5. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Bangnan Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung.

Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD bentuk-bentuk perizinan dibagi atas 4 (empat) yaitu :

1. Dispensasi atau Bebas Syarat

Yaitu apabila pembuat paraturan secara umum tidak melarang sesuatu Peraturan Perundang-Undangan menjadi tidak berlaku karena sesuau hal yang sangat istimewa[1]. Adapun tujuan diberikannya dispensasi itu adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang menyimpang atau menerobos Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pemberian dispensasi itu umumnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan. [1] WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op., hlm 72.

2. Verguining atau Izin

Yaitu apabila pembuat peraturan secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin. [1] Sjachran Basah, Pencabutan…, op. cit., hlm 3

3. Lisensi (Licentie)

Menurut Prins nama lisensi lebih tepat untuk digunakan dalam hal menjalankan suatu perusahaan dengan leluasa (suatu macam izin yang istimewa). Sehingga tidak ada ganguan lainnya termasuk dari pemerintah sendiri.[2] Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara hlm 205

4. Konsensi

Yaitu apabila pihak swasta memperoleh delegasi kekuasaan dari pemerintah untuk melakukan sebagian pekerjaan/tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin).[1] Adapun tugas dari pemerintah atau bestur adalah menyelenggarakan kesajahtaraan umum. Jadi kesejahtaraan atau kepentingan umum harus selalu menjadi syarat utama, bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Pendelegasian wewenang itu diberikan karna pemerintah tidak mempunyai cukup tenaga maupun fasilitas untuk melakukan sendiri. konsensi ini hampir dapat diberikan dalam segala bidang. [1] Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara hlm 206

Prajudi Atmosudirjo menyatakan perizinan merupakan penetapan yang memberikan keuntungan yaitu :

1. Dispensasi

Pernyataan dari penjabat yang berwenang bahwa sesuatu ketentuan Undang-Undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang dalam surat permintannya.

2. Izin atau Verguinning

Tidak melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya diisyaratkan prosedur tertentu harus dilalui.

3. Lisensi

Izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba.

4. Konsensi

Penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinnya untuk memindahkan kampung, dan sebagainya. Oleh karna itu pemberian konsensi haruslah dengan kewaspadaan, kebijaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya.

Sabtu, 18 Juli 2009

PLURALISME HUKUM INDONESIA

Pada sistem hukum Indonesia saat ini, penulis cenderung berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem hukum campuran atau yang lebih dikenal disebut mixed legal system.

Model mixed legal system atau sistem hukum campuran dapat terjadi karena sejarah pengaruh hukum asing dalam hukum lokal yang dianut oleh negara tersebut atau dapat pula terjadi karena pengaruh dari hukum internasional yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari komunitas internasional (translokasi hukum/ translocation of laws atau transplantasi hukum/ legal transplants).

Kendati banyak negara menerapkan model mixed legal system, namun antara satu dengan lainnya berbeda-beda variasinya. Bukan sekadar varian substantif dari sistem-sistem yang menjadi campuran, tetapi juga pola struktur dan kecenderungan budaya hukumnya. Variasi sistem-sistem hukum itu bisa dalam suatu dominasi satu sistem terhadap sistem hukum yang berlaku lainnya atau juga dapat berupa bentuk yang lain yakni beberapa sistem hukum diperlakukan secara bersamaan dengan konsep harmonisasi.

Sekali lagi, penulis katakan, dikaitkan dengan kondisi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia maka sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum campuran (mixed legal system) dengan sistem hukum utamanya yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (Romano-Germanic Legal System atau disebut juga Hukum Sipil/ Civil Law).

Sistem hukum yang lebih mengarah kepada sistem hukum eropa kontinental tersebut dilatarbelakangi hubungan sejarah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, dimana sistem hukum yang dianut negeri Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontintal.Selain berdasarkan pada sejarah pengaruh hukum asing di atas, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum campuran adalah dikarenakan beberapa hal seperti :

1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

4. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.

5. Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law. Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law). Ketentuan-ketentuan UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai misal telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan UU Kepailitan, UU Antimonopoli, juga sejumlah undang-undang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).

Dianutnya sistem hukum campuran oleh negara Indonesia, yang secara umum berkarakter asli tradisi civil law (civilian in origin), diperkaya dengan prinsip-prinsip common law, hukum Islam, dan hukum adat sejalan dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto yang menyatakan bahwa adopsi unsur-unsur hukum asing dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan tetapi konfigurasi atau pola sistemiknya yang Eropa itu tidaklah mungkin dibongkar sama sekali. Hal ini dapat dimengerti karena sistem Eropa Kontinental (civil law), telah tersosialisasi secara berterusan dan telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH juga mengakui tentang sistem hukum campuran yang dianut dan dikembangkan Indonesia yang menurutnya secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal saat ini memang sudah sejak lama bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional.

Kondisi sistem hukum campuran yang dianut dan dipratekkan di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan dan penghormatan UUD 1945 terhadap pluralisme hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat. Kata plural dalam konteks ini adalah suatu ungkapan yang menunjukan kepada sesuatu yang banyak, atau adanya keanekaragmaan dan perbedaan. Keanekaragaman disebut adakalanya mengacu pada adanya perbedaan latar belakang masyarakat dari segi suku bangsa, budaya, maupun agama yang dianut dalam suatu bangsa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia.

Keaneka ragaman tetapi satu bangsa tersebut menjelma pada semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Dengan kondisi yang berbeda-beda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maka sangatlah sulit jika hanya menerapkan satu sistem hukum. Oleh karena itu, terlepas dari pro dan kontra, upaya-upaya pengakuan pluralisme hukum di Indonesia tetap harus terus diakui dan dikembangkan oleh Pemerintah.