Selasa, 01 September 2009

BUDAYA KERJA INDONESIA

Ada pertanyaan yang selalu menggelitik mengenai apakah benar setiap organisasi yang merupakan kumpulan manusia, termasuk tempat di mana kita bekerja, memerlukan suatu budaya tertentu untuk mencapai tujuannya, serta sejauh mana jaminan bahwa setelah budaya itu ada kemudian organisasi semakin membaik kinerjanya.

Mesti diakui dalam praktek ada cara-cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah yang tumbuh dalam kurun waktu yang lama dan menentukan arti menjadi anggota suatu organisasi. Banyak kalangan kemudian menyebutnya budaya kerja, sebagai sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berperan sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari sisi fungsi, budaya kerja memiliki beberapa fungsi.

Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda. Hal itu berarti bahwa budaya kerja menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lainnya.

Kedua, budaya kerja membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

Ketiga, budaya kerja mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual.

Keempat, budaya kerja itu meningkatkan kemantapan sistem sosial dalam organisasi. Budaya yang kuat meletakkan kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, dan cara melakukan sesuatu tanpa perlu dipertanyakan lagi.

Karena berakar dari tradisi, budaya mencerminkan apa yang dilakukan dan bukan apa yang akan berlaku. Dengan pemahaman seperti ini jelas terlihat bahwa keunggulan suatu organisasi tidak semata-mata ditentukan oleh hal-hal yang kasat mata (tangible) seperti struktur organisasi, personil, seragam, gedung, armada, laporan keuangan, dan sebagainya melainkan juga oleh hal-hal yang tidak kasat mata (intangible). Bahkan hal-hal yang tidak kasat mata tersebut menjadi kekuatan tersembunyi yang jika dikelola dengan benar akan mendongkrak kinerja organisasi secara menyeluruh.

Mengapa produktivitas kerja SDM Indonesia tergolong rendah di ASEAN atau cuma sekitar dua pertiganya ketimbang SDM Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina? Apakah terkait dengan budaya kerjanya? Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan organisasi dan individual. Kalau dalam suatu perusahaan maka tujuannya tercermin dalam nuansa mencapai profit yang maksimum.

Sementara dari sisi individu adalah mencapai kinerja maksimum untuk meraih kepuasan (utility) yang maksimum. Budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi. Budaya organisasi itu sendiri merupakan sistem nilai yang mengandung cita-cita organisasi sebagai sistem internal dan sistem eksternal sosial. Hal itu tercermin dari isi visi, misi dan tujuan organisasi.

Dengan kata lain, seharusnya setiap organisasi termasuk para anggotanya memiliki impian atau cita-cita. Setiap anggota memiliki identitas budaya tertentu dalam organisasinya. Dalam perusahaan dikenal sebagai budaya korporat dimana di dalamnya terdapat budaya kerja. Seperti dalam suatu perusahaan, cita-cita (visi) sebagai identitas organisasi, misalnya menjadikan dirinya sebagai bisnis terkemuka dengan ciri-ciri berdaya inovasi tinggi, pionir dalam bidangnya, penggunaan teknologi dan sumberdaya manusia yang tangguh, mampu beradaptasi pada lingkungan global termasuk berperan di dalam peningkatan kesejahteraan lingkungan.

Untuk mencapai itu maka posisi mutu SDM karyawan menjadi sangat penting karena karyawan adalah pemeran utama dan bukan yang lain. Karena itu, dalam bekerja maka setiap karyawan hendaknya memiliki cita-cita yang berupa kehendak mengenai sesuatu yang ingin dituju dan dicapai. Sebagai tujuan antara misalnya dapat berbentuk keinginan untuk memperoleh status sosial, pengembangan karir, dan memperoleh kompensasi; Sedang sebagai tujuan akhir adalah keinginan untuk mencapai kesejahteraan sosial ekonomi yang maksimum bagi diri dan keluarganya.

Untuk mencapai cita-cita yang dikehendaki maka tiap karyawan perlu mengoptimumkan mutu sumberdayanya. Bentuk ukuran SDM karyawan yang optimum yaitu produktivitas kerja yang maksimum. Dalam konteks budaya kerja, produktivitas tidak dipandang hanya dari ukuran fisik tetapi juga dari ukuran produk sistem nilai. Karyawan unggul menilai produktivitas atau produktif adalah sikap mental: Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada sekarang. Jadi kalau seorang karyawan bekerja, dia akan selalu berorientasi pada ukuran nilai produktivitas atau minimal sama dengan standar kinerja perusahaan. Dengan kata lain, bekerja produktif sudah merupakan panggilan jiwa dan disemangati dengan amanah atau komitmen tinggi sehingga menjadi bagian dari etos kerja keseharian (terinternalisasi): Tanpa diinstruksikan atasan karyawan seperti ini akan bertindak produktif. Inilah yang disebut sebagai budaya kerja.

Aktualisasi budaya kerja produktif sebagai ukuran sistem nilai mengandung komponen-komponen yang dimiliki seorang karyawan (Moeljono, 2004) yakni:
(1) pemahaman substansi dasar tentang makna bekerja,
(2) sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan pekerjaan,
(3) perilaku ketika bekerja,
(4) etos kerja,
(5) sikap terhadap waktu, dan
(6) cara atau alat yang digunakan untuk bekerja.

Semakin positif nilai komponen-komponen budaya tersebut dimiliki oleh seorang karyawan maka akan semakin tinggi kinerjanya, ceteris paribus. Agar budaya kerja dapat tumbuhkembang dengan subur di kalangan karyawan dan staf maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan melalui tindakan manajemen puncak dan proses sosialisasi.

(1) Tindakan manajemen puncak· Apa yang dikatakan manajemen puncak akan menjadi panutan karyawan.· Bagaimana manajemen puncak berperilaku akan menunjukkan karyawan bersikap dalam berkomunikasi dan berprestasi untuk mencapai standar kinerja perusahaan.· Bagaimana manajemen puncak menegakkan norma-norma kerja akan menumbuhkan integritas dan komitmen karyawan yang tinggi.· Imbalan dan hukuman yang diberikan manajemen puncak akan memacu karyawan untuk meningkatkan semangat dan disiplin kerja.

(2) Proses sosialisasiProses sosialisasi dilakukan dalam bentuk advokasi bagi karyawan baru untuk penyesuaian diri dengan budaya organisasi. Sosialisasi dilakukan ketika mereka sedang dalam tahap penyeleksian atau prakedatangan. Tiap calon karyawan mengikuti pembelajaran sebelum diterima. Setelah diterima para karyawan baru melihat kondisi organisasi sebenarnya dan menganalisis harapan-kenyataan, antara lain lewat proses orientasi kerja. Pada tahap ini para karyawan berada dalam tahap “perjuangan” untuk menentukan keputusan apakah sudah siap menjadi anggota sistem sosial perusahaan, ragu-ragu ataukah mengundurkan diri.

Ketika karyawan sudah memutuskan untuk terus bekerja, namun proses perubahan relatif masih membutuhkan waktu yang lama maka tiap karyawan perlu difasilitasi dengan pelatihan dan pengembangan diri secara terencana. Dalam hal ini, karyawan harus membuktikan kemampuan diri dalam penguasaan keterampilan kerja yang disesuaikan dengan peran dan nilai serta norma yang berlaku dalam kelompok kerjanya sampai mencapai tahap metamorfosis.

Secara keseluruhan keberhasilan proses sosialisasi akan sampai pada tahap internalisasi yang diukur dari (1) produktivitas kerja, (2) komitmen pada tujuan organisasi, dan (3) kebersamaan dalam organisasi.

Hasil penelitian Harvard Business School (Kotter dan Heskett,1992) dalam Moeljono (2004), menunjukkan bahwa budaya korporat mempunyai dampak kuat terhadap prestasi kerja suatu organisasi. Ada empat alasan mengapa pengaruh itu terjadi:
(1) Budaya korporat mempunyai dampak nyata pada prestasi kerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang.

(2) Budaya korporat bahkan mungkin merupakan faktor yang lebih penting di dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan dalam dekade mendatang.

(3) Budaya korporat yang menghambat prestasi keuangan yang kokoh dalam jangka panjang adalah tidak jarang juga ditemukan; Budaya itu berkembang dengan mudah dan bahkan dalam perusahaan yang penuh dengan orang yang bijak dan cerdas.

(4) Walaupun sulit diubah, budaya korporat dapat dibuat untuk lebih meningkatkan prestasi.

Sialnya ini memang jadi masalah di negara kita terutama di jajaran birokrasi...Dipikir-pikir ini juga masalah oe dalam bekerja minimal dalam belajar. Hmmm....kapan kita punya Budaya kerja seperti negara Jepang atw Korsel? Bagaimana menurut Anda?

Senin, 10 Agustus 2009

PERKEMBANGAN PERAN ADMINISTRASI NEGARA DALAM HUKUM KONTITUSI


Berkembangnya peran administrasi negara dalam bidang hukum, baik yang bersifat peraturan perundang-undangan (wetgeving) maupun yang bukan peraturan perundang-undangan seperti “beschikking” dan “beleidsregel”. Peran administrasi negara dalam pengaturan hukum merupakan sesuatu yang sering menimbulkan perdebatan baik akademis maupun praktis, karena itu memang menarik untuki dibahas dan dikaji. Salah satu perdebatan tersebut adalah bahwa peran administrasi negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan telah menempatkan badan legislatif di bawah kendali administrasi negara (eksekutif).

Seringkali dengan maksud untuk memudahkan, administrasi negara diparalelkan dengan pengertian eksekutif sebagaimana ajaran pemisahan atau pembagian kekuasaan. Pemahaman semacam ini tidak keliru sepanjang kekuasaan eksekutif itu adalah semua kekuasaan di luar kekuasaan legislatif atau kekuasaan yudisial. Atau dalam UUD 1945, administrasi negara adalah segala kekuasaan di luar kekuasaan MPR, DPR, DPD, BPK, dan kekuasaan Kehakiman (MA dan MK).

Dengan pemahaman ini, maka administrasi negara tidak sekedar kekuasaan pemerintahan yang berada di lingkungan jabatan kepresidenan. Administrasi negara juga berada dalam lingkungan
jabatan MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dll, yang lazim disebut jabatan atau pejabat sekretariat.

Tidak semua jabatan atau pejabat administrasi negara mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hanya administrasi negara yang berada dalam lingkungan jabatan kepresidenan yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika administrasi negara di luar lingkungan jabatan kepresidenan mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang membuat produk hukum yang mengikat tidaklah termasuk dalam kategori peraturan perundangundanganmelainkan dalam bentuk “beschikking” atau “beleidsregel”.

Jika dikaitkan dengan ajaran pemisahan atau pembagian kekuasaan, maka jabatan administrasi negara dalam lingkungan jabatan kepresidenan lazim digolongkan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam pengertian ini, maka kekuasaan eksekutif dilekati dengan kekuasaan membentuk peraturan perundangundangan. Secara ajaran awal (doktrin asli), seluruh kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan diasumsikan ada pada pemegang kekuasaan legislatif.
Dalam ajaran pemisahan kekuasaan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan itu sepenuhnya terpisah dari kekuasaan eksekutif dan yudisial. Menurut ajaran ini, tidak ada tempat pembentukan peraturan perundang-undangan oleh seksekutif, sehingga eksekutif tidak berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Asumsi-asumsi ini tidak sesuai dengan kenyataan dan perkembangan, karena pemisahan kekuasaan secara absolut tidak pernah ada.

Bagir Manan: sudah menjadi pembawaan, kekuasaan eksekutif sebagai penyelenggara administrasi negara membentuk peraturan perundang-undangan. Bahkan merupakan kewenangan yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan administrasi negara. Ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat meniadakan kewenangan tersebut, karena yang ada adalah
membatasi baik dalam bentuk ‘sharing power” maupun pembatasan berdasarkan bentuk atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang dapat dibuat administrasi negara.

Ketidakmungkinan meniadakan kewenangan eksekutif sebagai penyelenggara administrasi negara untuk membentuk peraturan perundang-undangan didorong oleh berbagai perkembangan teoritik maupun praktik.

Paham pembagian kekuasaan (distribution of powers) yang lebih menekankan pada perbedaan fungsi dibandingkan pemisahan organ seperti terdapat dalam ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers). Fungsi pembentukan peraturan perundangundangan dapat juga dilekatkan pada administrasi negara, baik sebagai kekuasaan mandiri atau sebagai kekuasaan yang dijalankan secara bersama-sama dengan badan legislatif.

Terdapat paham yang memberikan kekuasaan pada negara atau pemerintah untuk mencampuri
perikehidupan masyarakat, baik sebagai negara kekuasaan atau sebagai negara kesejahteraan. Dalam paham negara kekuasaan, ikut campurnya negara atau pemerintah dilakukan dalam rangka membatasi dan mengendalikan rakyat.

Salah satu penunjang formal pelaksanaan kekuasaan semacam itu, maka diciptakan berbagai instrumen hukum yang akan memberikan dasar bagi negara atau pemerintah untuk bertindak – yang dalam pelaksanaannya dilakukan tanpa menghormati hak-hak rakyat bahkan dengan sewenang-wenang.

Pada negara-negara diktatur modern, secara formal kekuasaan dijalankan berdasarkan hukum tetapi bukan hukum menurut paham negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat), melainkan hukum yang memihak pada penguasa. Pada negara-negara diktatur, instrumeninstrumen hukum cukup dibuat oleh penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara (government by decree). Jika dibuat oleh badan legislatif, kesemuanya dimaksudkan untuk menunjang kediktaturan.

Pada negara kesejahteraan (verzorgingsstaat, welfarestate), sebagai kelanjutan atau bagian dari
paham negara berdasar hukum, diperlukan berbagai instrumen-instrumen hukum yang tidak mungkin semata-mata diserahkan pada pemegang kekuasaan legislatif. Untuk menyelenggaraan kesejahteraan umum, administrasi negara memerlukan wewenang untuk mengatur tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Dalam keadaan demikian, makin tumbuh kekuasaan administrasi negara di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum. Hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri oleh badan legislatif yang secara umum terdiri dari kaum generalis dengan berbagai prosedur baku yang harus dilalui. Administrasi negara sebagai penyelenggara pemerintahan senantiasa berhadapan dan menemukan secara konkret kebutuhan hukum baru yang diperlukan dalam rangka memenuhi fungsi pelayanan – baik yang bersifat ketertiban, keamanan atau kesejahteraan – terhadap masyarakat. Hal ini mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundangundangan.

Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundangundangan, mulai dari UUD sampai kepada peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Badan legislatif tidak membentuk segala jenis
peraturan perundang-undangan melainkan terbatas pada undang-undang dan UUD.

Jenis-jenis lain dibuat oleh administrasi negara, seperti peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres); peraturan daerah (Perda), dan peraturan desa (Perdes). Secara teoritis yang dimaksud dengan badan legislatif adalah MPR, DPR, dan DPD, sedangkan DPRD tidaktermasuk badan legislatif karena ia tundak pada kekuasaan eksekutif.

Terdapat alasan lain, seperti prosedur, fleksibilitas, yang menguatkan kedudukan administrasi negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik sebagai kekuasaan sendiri maupun sebagai kekuasaan bersama (shared power) dengan kekuasaan legislatif. Kekuasaan administrasi negara yang mandiri dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
mulai dari Perpu ke bawah. Kekuasaan bersama antara DPR dan Presiden adalah pada pembentukan undang-undang. Pembentukan UUD dan perubahan UUD terdapat kekuasaan bersama antara MPR dan Presiden (administrasi negara), karena keikutsertaan Presiden dalam perubahan UUD tampak dalam ketentuan yang mengatur mengenai referendum atas kehendak
mengusulkan perubahan UUD.

Bagir Manan: peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum atau mengikat secra umum. Dengan demikian, berbagai keputusan yang mengikat seperti “beschikking, beleidsregel”, tidak termasuk ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Hukum dapat dikatagorikan dengan berbagai cara, antara lain dari segi subyek lingkungan berlaku. Salah satu lingkungan subyek berlakunya hukum adalah mengatur tingkah laku negara atau pemerintah, tingkah laku negara dilakukan melalui alat perlengkapan negara, sedangkan tingkah laku pemerintah dilakukan melalui organ pemerintah.

Secara keilmuan, hukum yang mengatur tingkah laku negara (alat perlengkapan negara) dimasukkan ke dalam kelompok Hukum Tata Negara, sedangkan yang mengatur tingkah laku
pemerintah (administrasi negara) masuk ke dalam kelompok Hukum Administrasi Negara.

Pemisahan kedua rezim hukm (HTN dan HAN) dapat bertemu dalam tugas dan wewenang
administrasi negara pada pembentukan peraturan perundang-undangan, karena Presiden sebagai alat kelengkapan negara juga sekaligus sebagai administrasi negara. Dengan demikian, kewenangan administrasi negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya bersumber dari Hukum Administrasi Negara – bahkan “orriginally” bersumber pada Hukum Tata Negara.

Hukum administrasi negara dapat berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Bentuk tertulis dapat berupa peraturan perundangundangan dan yang bukan peraturan perundangundangan. Bentuk tidak tertulis antara lain untuk sebagian (karena sudah ada yang tertulis) berupa asas-asas
umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik. Pembentukan hukum administrasi negara yang berupa peraturan perundang-undangan berkembang sangat cepat sejalan dengan pertumbuhan cepat dari hukum administrasi negara itu sendiri.

FAKTOR YANG MEMPERCEPAT PERTUMBUHAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Van Wijk, et al)

1. Faktor pesatnya pertumbuhan penduduk
Pertambahan penduduk mempengaruhi berbagai hal seperti pola pengaturan mengenai pembagian atau pemakaian tanah untuk perumahan, lapangan parkir, dsb;
2. Faktor Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi telah mempengaruhi pengaturan mengenai lingkungan, bahan-bahan berbahaya, dsb;
3. Faktor Bencana dan Berbagai Krisis
Mendorong timbulnya pengaturan mengenai distribusi bantuan, pengaturan harga, jaringan pengaman sosial, dsb;
4. Faktor Paham Negara Kesejahteraan
Paham negara kesejahteraan menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan umum, sehingga untuk keperluan tersebut, pemerintah harus ikut serta dalam pergaulan dan mencampuri seluruh bentuk kehidupan masyarakat, dan untuk penyelenggaraan tugastugas tersebut diperlukan berbagai peraturan administrasi negara.
FAKTOR PEMBANGUNAN NASIONAL

Bagi Indonesia, faktor perkembangan Hukum Administrasi Negara dapat ditambah dengan pembangunan. Pembangunan nasional dapat menjadi pedang bermata dua bagi perkembangan Hukum Administrasi Negara. Pembangunan nasional yang memberikan peran utama kepada pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan akan mendorong perkembangan Hukum Administrasi Negara.

Sebaliknya, pembangunan nasional yang bertemakan deregulasi dan privatisasi akan mengendorkan perkembangan Hukum Administrasi Negara, karena pemerintah mengurangi campur tangan dalam kegiatan ekonomi dan menyerahkannya kepada masyarakat.

FAKTOR LAIN

Perkembangan Hukum Administrasi Negara yang cepat akibat luasnya jabatan administrasi baik secara horizontal maupun vertikal yang disertai wewenang membuat keputusan-keputusan atau tindakan yang mengikat yang menjadi sumber Hukum Administrasi Negara. Bagi Indonesia, faktor perencanaan yang dilakukan atas arahan pemerintah merupakan juga faktor perkembangan Hukum Administrasi Negara.

PERBANDINGAN PRODUK HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DENGAN HUKUM TATA NEGARA

Antara peraturan perundang-undangan yang dibuat administrasi negara (Hukum Administrasi Negara) dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh alat kelengkapan negara seperti perbedaan deret ukur dan deret hitung. Secara kuantitatif jumlah peraturan perundang-undangan yang merupakan Hukum Administrasi Negara sangat banyak dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang bukan.

Bahkan badan yang bukan Administrasi Negara ikut membentuk Hukum Administrasi Negara.
Semua undang-undang baik yang bersifat publik maupun privat hampir selalu berisi atau memuat ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara. Dari bentuknya yang tertulis, maka
HukumAdministrasi Negara yang berupa peraturan perundang-undangan merupakan komponen utama sistem peraturan perundang-undangan.

Senin, 20 Juli 2009

Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Bandung

1. Pengertian Izin dan Izin Mendirikan Bangunan.

Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara. Menurut Sjahcran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikaskan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan.[1]
[1] Sjachran Basah, Pencabutan...,op.cit., hlm. 3.
Adapun yang dimaksud dengan perizinan menurut penulis adalah: Melakukan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di bidang Hukum Publik yang berdasarkan wewenang tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum terhadap masalah yang dimohonkan.
Menurut Prins :
” Verguinning adalah keputusan Administrasi Negara berupa aturan, tidak umumnya melarang suatu perbuatan tapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang kongkrit, maka perbuatan Administrasi Negara yang diperkenankan tersebut bersifat suatu izin ”.

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 14 Tahun 1998 Pasal 1 huruf N pengertian bangunan adalah :” Bangunan adalah suatu perwujudan fisik yang digunakan sebagai sarana kegiatan manusia ”.
Secara umum pengertian bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat. Sedangkan pengertian mendirikan bangunan sebagaimana yang diatur dalam Perda ini adalah : ”Pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan”.
Jadi izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.
Mengenai pengaturan dari izin mendirikan bangunan diatur oleh Perda setempat dimana bangunan itu akan didirikan. Namun pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan atau undang-undang yang secara garis besar/umum dan menjadi dasar pembentukan peraturan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Dari bunyi Pasal 18 tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Indonesia di bagi dalam daerah provinsi. Provinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil, dan setiap daerah tersebut diberi kebebasan untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya baik berupa Daerah Otonomi maupun Administratif.
2. Tujuan dan Fungsi Izin dan Izin Mendirikan Bangunan

Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh penjabat yang berwenang.

Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu :

1. Dari sisi pemerintah
2. Dari sisi masyarakat
Dari Sisi Pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah :

a. Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. Izin dapat diletakan dalam fungsi menertibkan masyarakat.[1]
[1] Prajudi Atmosudirdjo, op. cit., hlm 23
b. Sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan adanya permintaan permohonan izin maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan.

Dari Sisi Masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah:

  • Untuk adanya kepastian hukum.
  • Untuk adanya kepastian hak.
  • Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas.


Bila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai fungsi masing-masing. Begitu pula halnya dengan ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu :

A. sebagai fungsi penertib
B. sebagai fungsi pengatur

Fungsi penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.


Fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Hal ini disesuaikan dengan rencana pemerintah. Yang dimaksud dengan rencana adalah salah satu bentuk dari perbuatan hukum administrasi negara yang menciptakan hubungan hukum (yang mengikat) antara penguasa dan para warga masyarakat.[1]
[1] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara hlm 99

Tujuan izin mendirikan bangunan adalah untuk melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang dutujukan atas kepentingan hak atas tanah.

Sedangkan fungsi dari izin bangunan ini dapat dilihat dalam beberapa hal :

1. Segi Teknis Perkotaan

Pemberian izin mendirikan banguan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan merencanakan pembangunan perumahan diwilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Master Plan Kota.

Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan sutau pembangunan diatas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki izin mendirikan bengunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota (DP3K).

Dengan adanya pengaturan pembangunan perumahan melalui izin ini, maka pemerintah didarah dapat merencanakan pelaksanaan pembangunan berbagai sarana serta unsur kota dengan berbagai instansi yang berkepentingan. Hal ini penting artinya agar wajah perkotaan dapat ditata denga rapi serta menjamin keterpaduan pelaksanaan pekerjaan pembengunan perkotaan. Penyesuaian pemberian izin mendirikan bengunan dengan Master Plan Kota akan memungkinkan adanya koordinasi antara berbagai departemen teknis dalam melaksanakan pembangunan kota.

2. Segi Kepastian Hukum

Izin mendirikan bangunan penting artinya sebagai pengawasan dan pengendalian bagi pemerintah dalam hal pembangunan perumahan. Mendirikan bangunan dapat menjadi acuan atau titik tolak dalam pengaturan perumahan selanjutnya. Bagi masyarakat pentingnya izin mendirikan bangunan ini adalah untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap hak bangunan yang dilakukan sehingga tidak adanya gangguan atau hal-hal yang merugikan pihak lain dan akan memungkinkan untuk mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam pelaksanaan usaha atau pekerjaan.

Selain itu izin mendirikan bangunan tersebut bagi sipemilknya dapat berfungsi sebagai :
a. bukti milik bangunan yang sah
b. kekuatan hukum terhadap tuntutan ganti rugi dalam hal :

1. Terjadinya hak milik untuk keperluan pembangunan yang bersifat untuk kepentingan hukum.

2. Bentuk-bentuk kerugian yang diderita pemilik bangunan lainya yang berasal dari kebijaksanaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

3. Segi Pendapatan Daerah

Dalam hal ini pendapatan daerah, maka izin mendirikan bangunan merupakan salah satu sektor pemasukan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Melalui pemberian izin ini dapat dipungut retribusi izin mendirikan bangunan.

Retribusi atas izin mendirikan bangunan itu ditetapkan berdasarkan persentase dari taksiran biaya bangunan yang dibedakan menurut fungsi bangunan tersebut. Retribusi izin mendirikan bangunan dibebankan kepada setiap orang atau badan hukum yang namanya tecantum dalam surat izin yang dikeluarkan itu.

4. Landasan Hukum Perizinan Di Indonesia Dalam Kaitan Dengan Otonomi Daerah

Mengenai pengaturan dari perizinan ini dapat kita tinjau satu persatu sesuai dengan jenis izinnya masing-masing, secara ringkas pengaturan perizinan dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Hindeer Ordonantie/Undang-Undang Gangguan

Diundangkan pada tanggal 13 Juni 1926, Stb Nomor 226 Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1926, dirubah paling akhir dengan stb tahun 1940, Ordonantie ini mengatur masalah perizinan apabila seseorang atau badan hukum akan mendirikan tempat usaha.

2. SVO (Staat Verinig Ordonantie)
Mengatur mengenai masalah pembinaan kota.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan / AMDAL.

5. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Bangnan Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung.

Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD bentuk-bentuk perizinan dibagi atas 4 (empat) yaitu :

1. Dispensasi atau Bebas Syarat

Yaitu apabila pembuat paraturan secara umum tidak melarang sesuatu Peraturan Perundang-Undangan menjadi tidak berlaku karena sesuau hal yang sangat istimewa[1]. Adapun tujuan diberikannya dispensasi itu adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang menyimpang atau menerobos Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pemberian dispensasi itu umumnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan. [1] WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op., hlm 72.

2. Verguining atau Izin

Yaitu apabila pembuat peraturan secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin. [1] Sjachran Basah, Pencabutan…, op. cit., hlm 3

3. Lisensi (Licentie)

Menurut Prins nama lisensi lebih tepat untuk digunakan dalam hal menjalankan suatu perusahaan dengan leluasa (suatu macam izin yang istimewa). Sehingga tidak ada ganguan lainnya termasuk dari pemerintah sendiri.[2] Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara hlm 205

4. Konsensi

Yaitu apabila pihak swasta memperoleh delegasi kekuasaan dari pemerintah untuk melakukan sebagian pekerjaan/tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang izin).[1] Adapun tugas dari pemerintah atau bestur adalah menyelenggarakan kesajahtaraan umum. Jadi kesejahtaraan atau kepentingan umum harus selalu menjadi syarat utama, bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Pendelegasian wewenang itu diberikan karna pemerintah tidak mempunyai cukup tenaga maupun fasilitas untuk melakukan sendiri. konsensi ini hampir dapat diberikan dalam segala bidang. [1] Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara hlm 206

Prajudi Atmosudirjo menyatakan perizinan merupakan penetapan yang memberikan keuntungan yaitu :

1. Dispensasi

Pernyataan dari penjabat yang berwenang bahwa sesuatu ketentuan Undang-Undang tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang dalam surat permintannya.

2. Izin atau Verguinning

Tidak melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya diisyaratkan prosedur tertentu harus dilalui.

3. Lisensi

Izin yang bersifat komersial dan mendatangkan laba.

4. Konsensi

Penetapan yang memungkinkan konsesionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi dan juga semacam wewenang pemerintahan yang memungkinnya untuk memindahkan kampung, dan sebagainya. Oleh karna itu pemberian konsensi haruslah dengan kewaspadaan, kebijaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya.

Sabtu, 18 Juli 2009

PLURALISME HUKUM INDONESIA

Pada sistem hukum Indonesia saat ini, penulis cenderung berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem hukum campuran atau yang lebih dikenal disebut mixed legal system.

Model mixed legal system atau sistem hukum campuran dapat terjadi karena sejarah pengaruh hukum asing dalam hukum lokal yang dianut oleh negara tersebut atau dapat pula terjadi karena pengaruh dari hukum internasional yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari komunitas internasional (translokasi hukum/ translocation of laws atau transplantasi hukum/ legal transplants).

Kendati banyak negara menerapkan model mixed legal system, namun antara satu dengan lainnya berbeda-beda variasinya. Bukan sekadar varian substantif dari sistem-sistem yang menjadi campuran, tetapi juga pola struktur dan kecenderungan budaya hukumnya. Variasi sistem-sistem hukum itu bisa dalam suatu dominasi satu sistem terhadap sistem hukum yang berlaku lainnya atau juga dapat berupa bentuk yang lain yakni beberapa sistem hukum diperlakukan secara bersamaan dengan konsep harmonisasi.

Sekali lagi, penulis katakan, dikaitkan dengan kondisi pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia maka sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum campuran (mixed legal system) dengan sistem hukum utamanya yaitu sistem hukum Eropa Kontinental (Romano-Germanic Legal System atau disebut juga Hukum Sipil/ Civil Law).

Sistem hukum yang lebih mengarah kepada sistem hukum eropa kontinental tersebut dilatarbelakangi hubungan sejarah Indonesia sebagai negara jajahan Belanda, dimana sistem hukum yang dianut negeri Belanda adalah sistem hukum Eropa Kontintal.Selain berdasarkan pada sejarah pengaruh hukum asing di atas, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum campuran adalah dikarenakan beberapa hal seperti :

1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

4. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Misalnya peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri, peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan lain sebagainya.

5. Masuknya pengaruh hukum asing (foreign law) yang bersumber dari tradisi common law. Dalam hal ini banyak bersentuhan dengan ketentuan-ketentuan hukum ekonomi (economic law). Ketentuan-ketentuan UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai misal telah mengadopsi lembaga hukum yang bersumber dari tradisi common law tersebut. Contoh lain dapat dikemukakan atas keberadaan UU Kepailitan, UU Antimonopoli, juga sejumlah undang-undang HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).

Dianutnya sistem hukum campuran oleh negara Indonesia, yang secara umum berkarakter asli tradisi civil law (civilian in origin), diperkaya dengan prinsip-prinsip common law, hukum Islam, dan hukum adat sejalan dengan pandangan Soetandyo Wignjosoebroto yang menyatakan bahwa adopsi unsur-unsur hukum asing dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris tentu saja mungkin, akan tetapi konfigurasi atau pola sistemiknya yang Eropa itu tidaklah mungkin dibongkar sama sekali. Hal ini dapat dimengerti karena sistem Eropa Kontinental (civil law), telah tersosialisasi secara berterusan dan telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ratusan tahun. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH juga mengakui tentang sistem hukum campuran yang dianut dan dikembangkan Indonesia yang menurutnya secara historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal saat ini memang sudah sejak lama bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, ditambah dengan praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional.

Kondisi sistem hukum campuran yang dianut dan dipratekkan di Indonesia tidak terlepas dari pengakuan dan penghormatan UUD 1945 terhadap pluralisme hukum yang telah lama hidup dalam masyarakat. Kata plural dalam konteks ini adalah suatu ungkapan yang menunjukan kepada sesuatu yang banyak, atau adanya keanekaragmaan dan perbedaan. Keanekaragaman disebut adakalanya mengacu pada adanya perbedaan latar belakang masyarakat dari segi suku bangsa, budaya, maupun agama yang dianut dalam suatu bangsa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bersama, di Indonesia terdapat bermacam-macam suku, ras, agama, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia.

Keaneka ragaman tetapi satu bangsa tersebut menjelma pada semboyan negara yang terkenal yaitu, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya bermacam-macam tapi satu jua. Dengan kondisi yang berbeda-beda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maka sangatlah sulit jika hanya menerapkan satu sistem hukum. Oleh karena itu, terlepas dari pro dan kontra, upaya-upaya pengakuan pluralisme hukum di Indonesia tetap harus terus diakui dan dikembangkan oleh Pemerintah.

Rabu, 01 April 2009

Tujuan dan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara

Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan falsafah negara
yang dianutnya (SF Marbun,2003; 20). Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka
tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu dalam rangka
perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah:

a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu;

b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan
pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).

Menurut Sjahran Basah (1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk
memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara represif. Tujun Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi.

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik
yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat dari tujuan dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari segi filsafat, segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi.

a. Pendekatan dari segi filsafat

Eksistensi Peradilan Administrasi bertitik tolak dari
kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah agar tetap sesuai dengan
fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonnum commune) seluas-luasnya. Dalam
menjalankan fungsinya, alat-alat negara (pemerintah dalam arti luas) harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya dihadapan hukum dan rakyat (kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat).

Pengujian yang dilaksanakan oleh peradilan administrasi terhadap keputusan tata usaha
negara ditujukan agar terwujud kesatuan yang harmonis antara norma umum abstrak yang
terkandung dalam peraturan dasar suatu keputusan tata usaha negara. Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum berakar pada satu norma dasar (grundnorm). Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku.

Judicial riview terhadap produk hukum pemerintah telah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan uji materiil tersebut diharapkan dapat tersusun suatu bentangan norma hukum yang sesuai (sinkron) dan berhierarkhi sebagaimana teori hierarkhi peraturan perundang-undangan dan oleh karenanya semua peraturan hukum yang ada adalah bentuk dari normatisasi cita hukum dan cita sosial sebagaimana norma dasar negara (Gundnorm).

b. Pendekatan dari segi teori

Eksistensi suatu negara hukum tidak pernah akan terlepas dari unsur-unsur Rechtsstaat
dalam arti klasik. Menurut F.J. Stahl dalam bukunya “Philosohie des Recht (1878), diintrodusir
bahwa suatu negara hukum harus memenuhi empat unsur penting, yaitu :

a. adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
b. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d. adanya Peradilan Tata Usaha Negara/Peradilan Administrasi Negara.

Konsep negara hukum versi F.J. Stahl ini kemudian berkembang di Eropa Barat (Eropa Kontinental) yang bertradisi hukum civil law. Tujuh tahun setelah konsep Rechtstaat dikenalkan,
muncul varian negara hukum baru yaitu Rule of Law, yang dikenalakan oleh Albert Venn Dicey
dalam bukunya Introduction to the law of the constitution (1885). Negara hukum versi Albert Venn
Dicey ini berkembang di negara-negara Anglo Saxon yang bertradisikan common law sytem
(termasuk jajahan-jajahan Inggris). Konsep Rule of Law menghendaki bahwa setiap negara hukum harus memiliki unsur-unsur :

a. Adanya supremasi hukum (Supremacy of Law)
b. Persamaan kedudukan didepan hukum (Equality Before the Law)
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Constitutions Based on Individual
Right)

Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut mempunyai
persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah, antara Konsep Rule of Law dan Rechtsstaat sama-sama menghendaki adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya. Disamping itu pula dapat terlihat adanya persamaan unsur yang mengsyaratkan agar pemerintah dijalankan berdasarkan atas hokum, bukan oleh manusia ataupun atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Perbedaan pokok antara kedua konsep Negara hokum tersebut adalah keharusan adanya
Peradilan Administrasi guna melindungi rakyat dari tindak/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi atau paling tidak dapat menimbulkan kerugian bagi warganya. Negara-negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah penting adanya guna memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan/perbuatan pemerintah yang melanggar Hak Asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk juga memberikan perlindungan bagi Pejabat Administrasi Negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara (S.F Marbun, 8; 2003). Keberadaan peradilan administrasi adalah salah satu unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh suatu negara, jika ingin dikatakan sebagai negara hukum dalam konsepsi Rechtstaat.

Sementara pada negara-negara yang menganut konsepsi Rule of Law, menganggap
bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip Equality Before the Law (persamaan kedudukan didepan hukum) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan. Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Meskipun dalam unsur negara hukum versi Rule of Law tidak ditegaskan adanya keharusan membentuk secara khusus institusi peradilan administrasi negara, tapi fungsi penyelesaiaan sengketa administrasi negara ternyata tetap ada. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengadministrasian perkaranya yang mengklasifikasikan secara khusus administratif dispute sebagaimana pengadministrasian berbagai jenis perkara lain.

Kebutuhan akan Peradilan Administrasi semakin urgen setelah konsepsi negara hukum
formal (legal state/pelaksana undang-undang) mendapat koreksi dari teori negara hukum materiil (Welfare State/negara hukum kesejahteraan). Dalam konsepsi negara hukum materiil, negara (pemerintah) memiliki tugas yang amat luas, tidak hanya terbatas sebagai pelaksana undang-undang saja, akan negara (pemerintah) adalah sebagai penyelenggara kesejahteraan umum atau Bestuurszorg (meminjam istilah Lamaire). Dengan kewenangan yang luas tersebut, maka pemerintah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan masalahmasalah penting dan mendesak yang datangnya secara tiba-tiba dimana peraturan belum ada (kewenangan tersebut dikenal dengan istilah Freies Ermessen atau Discretionaire). Adanya Freies Ermessen tersebut menimbulkan banyak implikasi dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, sosial, budaya, hukum/peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Utrecht, adanya Freies Ermessen memiliki beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundangundangan, antara lain : 1). Kewengan atas inisiatif sendiri (kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan UU, yaitu PERPPU, 2). Kewenangan atas delegasi perundang-undangan dari UUD, yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundangundangan dibawah UU, dan 3). Drot Functions, yaitu kewenangan untuk menafsirkan sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang masih bersifat enusiatif.

Adanya Freies Ermessen ini dalam berbagai hal memberikan peluang bagi terjadinya
de􀂶tournement de pouvior (penyalahgunaan wewenang) dan willekeur (perbuatan sewenangwenang) dari pemerintah terhadap rakyat. Menurut S.F Marbun (10; 2003), Freies Ermessen atau Discretionaire ini telah menjadi salah satu sumber yang menyebabkan banyaknya timbul sengketa antara pejabat tata usaha negara dengan warga terutama dalam hal dikeluarkannya suatu keputusan (Beschikking).

c. Pendekatan dari segi sejarah

Pada masa Hindia Belanda belum ada peradilan yang secara khusus berkompeten mengadili sengkata administrasi negara. Namun begitu setidaknya terdapat beberapa peraturan yang secara historis dapat dikatakan sebagai awal pemikiran perlunya peradilan administrasi negara. Peraturan tersebut adalah :

1) Pasal 134 ayat (1) dan Pasal 138 IS,

2) Pasal 2 RO (Reglement op de Rechterlijk Organisatie en Het Beleid der Justitie in Indonesie),

3) Ordonansi Staatsblad 1915 No. 707 yang diatur lebih lanjut dengan Ordonansi Staatsblad
1927 No.29 Tentang Peraturan Perbandingan dalam Perkara Pajak (mengatur Perdilan Tata
Usaha Istimewa atau Raad van Beroep voor Belastingzaken).

4) Pasal 59 ICW Tahun 1925 Stbl.1924 No.448 dibentuk peradilan khusus bagi bendaharawan
(Comptabelrechtspraak).

Dalam Pasal 134 ayat (1) IS dan Pasal 2 RO menetukan bahwa : 1). Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang, 2). Pemeriksaan serta penyelesaian perkara
administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri (S.F Marbun dan Mahfud MD,
177; 2000). Perselisihan perdata antara rakyat pencari keadilan (naturlijk persoon atau rechts persoon) dengan pemerintah diselesaikan melalui peradilan perdata, sedangkan penyelesaian
sengketa administrasi negara dilakukan melalui Administratiefberoep (penyelesaian sengketa
internal melalui administrasi negara itu sendiri dimana dilakukan oleh instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau oleh oleh instansi lain diluar instansi yang memberikan keputusan).

Usaha untuk merintis keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Pada tahun 1948, Prof. Wirjono Projodikoro, SH. atas perintah Menteri Kehakiman waktu itu, pernah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang acara perdata dalam soal tata usaha negara. Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/ MPR/ 1960, diperintahkan agar segera diadakan peradilan administrasi, maka oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1960 disusun suatu konsep rancangan undang-undang tentang Peradilan Administrasi Negara. Pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang Nomor:19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Pasal 7 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Peradilan Administrasi adalah bagian dari lingkungan peradilan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.S 8/ 12/ 17 Tanggal 16 Februari 1965, dibentuklah panitia kerja penyusun Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi dan pada tanggal 10 Januari 1966 dalam sidang pleno ke-VI LPHN, disyahkanlah rancangan undang-undang tersebut, namun rancangan undang-undang tersebut tidak diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR.). Pada tahun 1967 DPRGR menjadikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi tersebut sebagai usul inisiatif untuk dilakukan pembahasan, namun akhirnya usaha itupun kandas karena terjadi perubahan Pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada masa Orde Baru diundangkanlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Titik terang hadirnya Peradilan Administrasi Negara semakin jelas dengan dijamin eksistensinya dalam Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada tanggal 16 April 1986, pemerintah dengan Surat Presiden No. R. 04/ PU/ IV/ 1986 mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang Peradilan Administrasi kepada DPR untuk dilakukan pembahasan.
Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dan pada tanggal 28 Desember 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan. Lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan barulah undang-undang ini belaku efektif, yaitu setelah diundangkannya PP Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang sebelumnya telah didahului dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang dan Keputusan Presiden Nomor : 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang. Pada tahun 2004, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengalami perubahan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Perubahan ini tidak lepas dari dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

d. Pendekatan dari segi sistem

Sistem norma di Indonesia menganut asas hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan dimana peraturan-perundangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(lihat ketentuan normatifnya dalam UU No.10 Tahun 2004). Menurut Hans Kelsen, norma merupakan kesatuan dengan struktur piramida, dimulai dari yang tertinggi yaitu norma dasar (Grundnorm), norma-norma umum (Generalnorm), dan diimplementasikan menjadi norma-norma konkret (Concrete norm). Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus menerus, mulai dari yang abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai menjadi yang nyata/konkrit.

Guna menjaga guna menjaga konsistensi vertikal peraturan perundang-undangan RI (termasuk Keputusan) diperlukan instrumen pengujian materiil (judicial riview) terhadap perundang-undangan. Judicial riview (uji materiil) terhadap produk hukum pemerintah dilakukan secara bertingkat melalui Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji Undang-undang terhadap UUD, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara akibat adanya Sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara melakukan pengujian materiil secara terbatas menyangkut konsistensi vertikal suatu KTUN terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Dikatakan terbatas karena kewenangan pengujian KTUN hanya terbatas pada segi hukumnya saja (rechtmatige), sedangkan keputusan pemerintah yang merupakan diskresi nampaknya tidak menjadi kewenangannya (lihat penjelasan Pasal 1 angka 1 UU PTUN).

Kamis, 12 Maret 2009

Hukum Negara Dan Hukum Kekuasaan

HUKUM

Menurut Utrecht Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang berisikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja Hukum juga berupa keseluruhan kaidah-kaidah serta azas-azas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat.


Maka dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah gejala kemasyarakatan yang merupakan perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dan masyarakat.

Ilmu hukum positif adalah ilmu yang objeknya hukum positif yang artinya sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia didalam masyarakat.


Timbulnya apa yang dinamakan hukum yaitu aturan-aturan hidup yang mengatur hubungan antar manusia yang hidup bersama dalam satu kumpulan manusia atau masyarakat. Aturan-atauran itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk tunduk atau terikat oleh aturan-aturan itu.


Tujuan hukum:


1.Ketertiban

Ketertiban syarat pokok bagi masyarakat yang teratur dan organisasi hidup yang melampaui batas saat sekarang, lembaga perkawinan, hak milik, kontrak, dan sebagainya. Diperlukan kepastian dalam pergaulan anatar manusia di masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban, manusia tidak mungkin mengembangkan potensi secara optimal.


2.Keadilan

Ukuran, syarat, dan isinya berbeda menurut masyarakat dan zamannya


Konsekuensi dari hukum:

Tidak ada kesewenang-wenangan, sebab bertentangan dengan keadilan, tidak ada tempat bagi anarki, sebagai akibat tidak adanya kekuasaan yang tidak diatur oleh hukum.


NEGARA

Sementara untuk negara Logeman merumuskan negara itu sebagai suatu organisasi kemasyarakatan, yaitu suatu pertambatan kerja yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Organisasi itu merupakan suatu pertambatan jabatan-jabatan atau lapangan kerja tetap.


Definisi tentang negara tidak harus dikatakan bahwa negara itu berdaulat, Van Apeldoom mengemukakan bahwa sebagai tanda menunjukan negara, pengertian kedaulatan sebetulnya tidak dapat dipakai karena pengertian tersebut tidak tentu, tidak pasti, dan sifatnyasenatiasa berubah. Dalam sejarahnya pengertian kedaulatan itu telah beberapa kali berubah sifat, dan lagi pula pada zaman sekarang tentang pengertian tersebut terdapat banyak perselisihan faham. Kranenburg berpendapat bahwa dengan kata kedaulatan itu dapat dibuktikan segala sesuatu. Jadi, sebetulnya dengan kata tersebut tidak dapat dibuktikan sesuatupun! Hal itu karena isi kata tersebut telah berubah beberapa kali dan masih akan berubah di hari kemudian.


Dapat disimpulkan, bahwa negara itu sesuatu organisasi kemasyarakatan yang diberi kekuasaan (wewenang) tertinggi, maka tidak perlu dihiraukan apa negara berdaulat atau tidak. Suatu daerah kolonialpun dapat merupakannegara pula, biarpun belum memperoleh kemerdekaan politik penuh dan berdaulat. Bukankah, juga daerah diatur dan dikuasai oleh suatu organisasi yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi kedalam lingkungan intern daerah itu, biarpun kekuasaan itu bukan kekuasaan asli (nasional) tetapi suatu kekuasaan asing, yaitu kekuasaan tertinggi asing, yaitu kekuasaan tertinggi suatu negara nasional lain. Negara yang berdaulat adalah negara merdeka dalam arti politik maupun kenegaraan.


Negara mempunyai tiga struktur baku yaitu:

1.kekuasaan tertinggi

2.wilayah, yaitu lingkungan kekuasaan

3.warga negara atau bangsa-bangsa


HUKUM NEGARA

Hukum negara sering merupakan perpaduan antara ilmu hukum positif, sejarah hukum, perbandingan hukum, dan sosiologi hukum.


Bagi hukum, negara itu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Negara adalah korporasi (korporatie). Seperti halnya dengan manusia sebagai “natuurlijk persoon”, maka negara dapat menjual tanah, membeli gedung, mewakili warganegara, dan sebagainya. Negara mempunyai kekuasaan hukum maka negara jugalah yang berdaulat menjalankan hukum bagi seluruh warga negaranya yang ada di wilayah negara itu.


Maka konsepsi “negara hukum” berdasarkan dua azas pokok :

1.azas legalitas

2.azas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia semua orang yang ada di wilayah
negara


Azas legalitas adalah azas yang menyatakan bahwa semua tindakan alat-alat negara harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan, yaitu “rule of law”. Yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara ialah undang-undang dasar yang terdiri atas peraturan-peraturan dan azas-azas hukum. Sementara azas perlindungan dan hak pokok adalah dalam hal kebebasan hak sesuai dengan kesejahteraan hukum.

Hukum Negara dapat dikatakan sebagai hukum publik karena mengatur kepentingan umum (publik) dan menyangkut pemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan.



KEKUASAAN

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya. Dalam politik yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kekuasaan itu diperoleh, bagaimana mempertahankannya, dan melaksanakan kekuasaan itu.

Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu. Dalam hal ini dapat kita katakan, bahwa kekuasaan itu bersumber kepada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Pejabat pemerintah termasuk golongan ini.


HUKUM KEKUASAAN

Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakkanya. Tanpa kekuasaan hukum itu tak lain dari kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah sosial lainnya, yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal bahwa kekuasaan memaksa itu sendiri diatur oleh hukum baik mengenai ruang lingkup maupun pelaksanaanya. Kita mengenal polisi, kejaksaan, dan pengadilan sebagai alat pemaksaan atau penegak hokum Negara yang masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya.

Dapat kita simpulkan sebagai berikut: hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara popular, kesimpulan ini barangkali dapat diungkapkan dalam slogan bahwa: hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman


Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas mengenai hukum dan kekuasaan adalah bahwa kekuasaan merupakan suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum. Secara analitik, dapat dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur.

Rabu, 11 Maret 2009

PENGANTAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

1) Pengertian Administrasi NegaraIstilah Administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu Administrare, yang artinya adalah setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud mendapatkan sesuatu ikhtisar keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Namun tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dijadikan administrasi.

Menurut Liang Gie dalam Ali Mufiz (2004:1.4) menyebutkan bahwa Administrasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dengan demikian Ilmu Administrasi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari proses, kegiatan dan dinamika kerjasama manusia. Dari definisi administrasi menurut Liang Gie kita mendapatkan tiga unsur administrasi, yang terdiri:

1. kegiatan melibatkan dua orang atau lebih
2. kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dan
3. ada tujuan tertentu yang hendak dicapai.

Kerjasama itu sendiri merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, kerjasama dapat terjadi dalam semua hal bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, atau budaya. Dari sifat dan kepentingannya, kerjasama dapat dibedakan menjadi dua yaitu kegiatan yang bersifat privat dan kegiatan yang bersifat publik. Sehingga ilmu yang mempelajarinya dibedakan menjadi dua pula yaitu ilmu administrasi privat (private administration) dan ilmu administrasi negara (public administration).

Perbedaan antara dua cabang ilmu ini (private administration dan public administration) terletak pada fokus pembahasan atau obyek studi dari masing-masing cabang ilmu tersebut. Administrasi negara memusatkan perhatiannya pada kerjasama yang dilakukan dalam lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan administrasi privat memfokuskan perhatiannya pada lembaga-lembaga bisnis swasta. Dengan demikian ilmu administrasi negara (public administration) dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kegiatan kerjasama dalam organisasi atau institusi yang bersifat publik yaitu negara.

Mengenai arti dan apakah yang dimaksud dengan administrasi, lebih lanjut Liang Gie dalam Ali Mufiz (2004: 1.5) mengelompokkan menjadi tiga macam kategori definisi administrasi yaitu:

1. Administrasi dalam pengertian proses atau kegiatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Sondang P. Siagian bahwa administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Administrasi dalam pengertian tata usaha.

a.Menurut Munawardi Reksodiprawiro, bahwa dalam arti sempit administrasi berarti tata usaha yang mencakup setiap pengaturan yang rapi dan sistematis serta penentuan fakta-fakta secara tertulis, dengan tujuan memperoleh pandangan yang menyeluruh serta hubungan timbal balik antara satu fakta dengan fakta lainnya.

b. G. Kartasapoetra, mendefinisikan bahwa administrasi adalah suatu alat yang dapat dipakai menjamin kelancaran dan keberesan bagi setiap manusia untuk melakukan perhubungan, persetujuan dan perjanjian atau lain sebagainya antara sesama manusia dan/atau badan hukum yang dilakukan secara tertulis.

c. Harris Muda, administrasi adalah suatu pekerjaan yang sifatnya mengatur segala sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis, surat menyurat dan mencatat (membukukan) setiap perubahan/kejadian yang terjadi di dalam organisasi itu.

3. Administrasi dalam pengertian pemerintah atau administrasi negaraa.

a.Wijana, Administrasi negara adalah rangkaian semua organ-organ negara terendah dan tinggi yang bertugas menjalankan pemerintahan, pelaksanaan dan kepolisian.

b. Y. Wayong, menyebutkan bahwa administrasi Negara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan usaha-usaha instansi pemerintah agar tujuannya tercapai.Dari berbagai definisi tentang administrasi Negara, Ali Mufiz (2004:1.7) menyebutkan ada dua pola pemikiran yang berbeda tentang administrasi negara yaitu:

1. Pola Pemikiran PertamaMemandang administrasi Negara sebagai satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh lembaga eksekutif. Marshall Edward Dimock dan Gladys Ogden Dimock (1964), yang mengutif definisi W.F. Willougby, yaitu bahwa fungsi administrasi adalah fungsi untuk secara nyata mengatur pelaksanaan hukum yang dibuat oleh lembaga legislative dan ditafsirkan oleh lembaga yudikatif.

2. Pola Pemikiran KeduaPola kedua menyatakan bahwa administrasi Negara lebih luas daripada sekedar membahas aktivitas-aktivitas lembaga eksekutif saja. Artinya Administrasi Negara meliput seluuh aktivitas dari ketiga cabang pemerintahan, mencakup baik lembaga eksekutif maupun lembaga legislative dan yudikatif, yang semuanya bermuara pada fungsi untuk memberikan pelayanan publik.

J.M. Pfifftner berpendapat bahwa administrasi Negara adalah koordinasi dari usaha-saha kolektif yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah.Mendasarkan pada pola kedua di atas, Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro (1977:18) menyimpulkan bahwa administrasi negara adalah:

1) usaha kelompok yang bersifat kooperatif yang diselenggarakan dalam satu lingkungan publik

2) meliputi seluruh cabang pemerintahan serta merupakan pertalian diantara cabang pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

3) Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanaan publik (public policy) dan merupakan bagian dari proses politik

4) Amat berbeda dengan administrasi privat

5) Berhubungan erat dengan kelompok-kelompok privat dan individual dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.Sementara C.S.T. Kansil (1985:2) mengemukakan arti Administrasi Negara adalah sebagai berikut:

1) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau istansi politik (kenegaraan) artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari presiden, menteri, termasuk gubernur, bupati/walikota (semua organ yang menjalankan administrasi negara).

2) Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yakni sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara

3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan undang-undang.

Tujuan administrasi negara sangat tergantung pada tujuan dari negara itu sendiri. Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, selayaknya pula bahwa tujuan dari administrasi negaranya berdasar dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dimana dalam Pembukaannya disebutkan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk bagaimana melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam usaha perdamaian dunia. Jadi tugas administrasi negara adalah memberikan pelayanan (service) yang baik kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya yang seringkali terjadi masyarakat yang harus melayani administrator negara.

Untuk itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa maka dituntut partisipasi masyarakat (social participation), dukungan dari masyarakat kepada administrasi negara (social support), pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja administrasi negara (social control), serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan administrasi negara (social responsibility).

2) Hukum Administrasi NegaraIstilah Hukum Administrasi Negara (yang dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0198/LI/1972 tentang Pedoman Mengenai Kurikulum Minimal Fakultas Hukum Negeri maupun Swasta di Indonesia, dalam pasal 5 disebut Hukum Tata Pemerintahan) berasal dari bahasa Belanda Administratiefrecht, Administrative Law (Inggris), Droit Administratief (Perancis), atau Verwaltungsrecht (Jerman). Dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud No. 30/DJ/Kep/1983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum disebut dengan istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia, sedangkan dalam Keputusan Dirjen Dikti No. 02/DJ/Kep/1991, mata kuliah ini dinamakan Asas-Asas Hukum Administrasi Negara. Dalam rapat dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia pada bulan Maret 1973 di Cibulan, diputuskan bahwa sebaiknya istilah yang dipakai adalah “Hukum Administrasi Negara”, dengan tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah lain seperti Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan atau lainnya.

Alasan penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara ini adalah bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan istilah yang luas pengertiannya sehingga membuka kemungkinan ke arah pengembangan yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan negara Republik Indonesia ke depan. Hukum Administrasi Negara sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan hukum; dan oleh karena hukum itu sukar dirumuskan dalam suatu definisi yang tepat, maka demikian pula halnya dengan Hukum Administrasi Negara juga sukar diadakan suatu perumusan yang sesuai dan tepat.

Mengenai Hukum Administrasi Negara para sarjana hukum di negeri Belanda selalu berpegang pada paham Thorbecke, beliau dikenal sebagai Bapak Sistematik Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Adapun salah satu muridnya adalah Oppenheim, yang juga memiliki murid Mr. C. Van Vollenhoven. Thorbecke menulis buku yang berjudul Aantekeningen op de Grondwet (Catatan atas undang-undang dasar) yang pada pokoknya isi buku ini mengkritik kebijaksanaan Raja Belanda Willem I, Thorbecke adalah orang yang pertama kali mengadakan organisasi pemerintahan atau mengadakan sistem pemerintahan di Belanda, dimana pada saat itu Raja Willem I memerintah menurut kehendaknya sendiri pemerintahan di Den Haag, membentuk dan mengubah kementerian-kementerian menurut orang-orang dalam pemerintahan..Oppenheim memberikan suatu definisi Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.

Hukum Administrasi Negara menurut Oppenheim adalah sebagai peraturan-peraturan tentang negara dan alat-alat perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging).

Sedangkan murid Oppenheim yaitu Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara menjadi 4 yaitu sebagai berikut:

1) Hukum Peraturan Perundangan (regelaarsrecht/the law of the legislative process)

2) Hukum Tata Pemerintahan (bestuurssrecht/ the law of government)

3) Hukum Kepolisian (politierecht/ the law of the administration of security)

4) Hukum Acara Peradilan (justitierecht/ the law of the administration of justice), yang terdiri dari:

a. Peradilan Ketatanegaraan

b. Peradilan Perdata

c. Peradilan Pidanad.

d.Peradilan Administrasi

Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara mengatakan bahwa Hukum Administrasi Negara ialah himpunan peraturan –peraturan tertentu yang menjadi sebab, maka negara berfungsi. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara merupakan sekumpulan peraturan yang memberi wewenang kepada administrasi negara untuk mengatur masyarakat.

Sementara itu pakar hukum Indonesia seperti Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H., berpendirian bahwa tidak ada perbedaan yuridis prinsipal antara Hukum Administrasi negara dan Hukum Tata Negara. Perbedaannya menurut Prajudi hanyalah terletak pada titik berat dari pembahasannya. Dalam mempelajari Hukum Tata Negara kita membuka fokus terhadap Konstitusi negara sebagai keseluruhan, sedangkan dalam membahas Hukum Administrasi Negara lebih menitikberatkan perhatian secara khas kepada administrasi negara saja.

Administrasi merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam konstitusi negara di samping legislatif, yudikatif, dan eksaminasi. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara adalah mirip dengan hubungan antara hukum dagang terhadap hukum perdata, dimana hukum dagang merupakan pengkhususan atau spesialisasi dari hukum perikatan di dalam hukum perdata.

Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu pengkhususan atau spesialisasi dari Hukum Tata Negara yakni bagian hukum mengenai administrasi negara.Berdasarkan definisi Hukum Administrasi Negara menurut Prajudi Atmosudirdjo, maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai seluk-beluk administrasi negara (hukum administrasi negara heteronom) dan hukum operasional hasil ciptaan administrasi negara sendiri (hukum administrasi negara otonom) di dalam rangka memperlancar penyelenggaraan dari segala apa yang dikehendaki dan menjadi keputusan pemerintah di dalam rangka penunaian tugas-tugasnya.

Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan teknis dari hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara. Hukum administrasi negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi masyarakat dan rajyat serta penyelesaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut.

Hukum Administrasi Negara diartikan juga sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga masyarakat, dimana administrasi Negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari policy suatu pemerintahan.

Contoh, policy pemerintah Indonesia adalah mengatur tata ruang di setiap kota dan daerah di seluruh Indonesia dalam rangka penataan lingkungan hidup. Implementasinya adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup. Undang-undang ini menghendaki bahwa setiap pembangunan harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Pelaksanaannya adalah bahwa disetiap daerah ada pejabat administrasi Negara yang berwenang memberi/menolak izin bangunan yang diajukan masyarakat melalui Keputusan Administrasi Negara yang berupa izin mendirikan bangunan.B. Lapangan Pekerjaan Administrasi Negara.

Sebelum abad ke 17 adalah sukar untuk menentukan mana lapangan administrasi Negara dan mana termasuk lapangan membuat undang-undang dan lapangan kehakiman, karena pada waktu itu belum dikenal “pemisahan kekuasaan”, pada waktu itu kekuasaan Negara dipusatkan pada tangan raja kemudian pada birokrasi-birokrasi kerajaan. Tapi setelah abad ke 17 timbullah aliran baru yang menghendaki agar kekuasaan Negara dipisahkan dari kekuasaan raja dan diserahkan kepada tiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai lapangan pekerjaan sendiri-sendiri terpisah yang satu dari yang lainnya seperti yang telah dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu.

Sejak itu baru kita mengetahui apakah yang menjadi lapangan administrasi Negara itu. Maka yang menjadi lapangan administrasi Negara berdasarkan teori Trias Politica John Locke maupun Monesquieu adalah lapangan eksekutif yaitu lapangan yang melaksanakan undang-undang. Bahkan oleh John Locke tugas kehakiman dimasukkan ke dalam lapangan eksekutif karena mengadili itu termasuk melaksanakan undang-undang.

Sejak adanya teori “pemisahan kekuasaan” ini lapangan administrasi Negara mengalami perkembangan yang pesat.Tetapi ajaran Trias Politica ini hanya dapat diterapkan secara murni di Negara-negara seperti yang digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte yaitu di Negara-negara hukum dalam arti sempit atau seperti yang disebut Utrech “Negara Hukum Klasik” (klasieke rechtsstaat), tetapi tidak dapat diterapkan kedalam system pemerintahan dari suatu Negara hukum modern (moderneechsstaat), karena lapangan pekerjaan administrasi Negara pada Negara hukum modern adalah lebih luas dari pada dalam Negara hukum klasik. Apakah sebabnya maka lapangan administrasi Negara dalam Negara hukum modern itu lebih luas dari pada dalam Negara hukum klasik, hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri kedua negara tersebut.

NEGARA HUKUM KLASIK NEGARA HUKUM MODERN

Corak Negara adalah Negara liberal yang mempertahankan dan melindungi ketertiban social dan ekonmi berdasarkan asas “Laisez fair laissez passer” yaitu asas kebebasan dari semua warga negaranya dan dalam persaingan diantara mereka Corak Negara adalah “Welfare State”, suatu Negara yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyatTugas Negara adalah sebagai “Penjaga Malam” (Nachtswakerstaat) karena hanya menjaga keamanan dalam arti sempit, yaitu keamanan senjata Ekonomi liberal telah diganti dengan system ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat (central geleide ekonomie).Adanya suatu “Staatsonthouding” sepenuhnya, artinya “pemisahan antara Negara dan masyarakat” Negara dilarang keras ikut campur dalam lapangan ekonomi dan lapangan-lapangan kehidupan social lainnya Staatsonhouding telah diganti dengan staatsbemoeienis artinya Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakatDitinjau dari segi politik suatu “Nachtwakerstaat”.

Negara sebagai penjaga malam, tugas pokoknya adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari the rulling class nasib dari mereka yang bukan rulling class tidak dihiraukan oleh alat-alat pemerintah dalam suatu Nachtwakerstaat. Tugas dari suatu Welfare State adalah “Bestuurszorg” yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umumTugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas yaitu keamanan social disegala lapangan kehidupan masyarakat.

Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa untuk keperluan studi ilmiah, maka ruang lingkup atau lapangan hukum administrasi negara meliputi:

1) Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada administrasi negara

2) Hukum tentang organisasi dari administrasi negara

3) Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari Administrasi Negara, terutama yang bersifat yuridis

4) Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara, terutama mengenai Kepegawaian Negara dan Keuangan Negara

5) Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah atau Wilayah

6) Hukum tentang Peradilan Administrasi NegaraSementara Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor M. Situmorang menggambarkan suatu skema mengenai Hukum Administrasi Negara di dalam kerangka hukum seluruhnya, yang dikenal dengan sebutan “residu theori”, yaitu sebagai berikut:

1) Staatsrecht (materieel)/Hukum Tata Negara (materiel), meliputi:

a. Bestuur (pemerintahan)
b. Rechtspraak (peradilan)
c. Politie (kepolisian)
d. Regeling (perundang-undangan)

2) Burgerlijkerecht (materieel)/Hukum Perdata (materiel)

3) Strafrecht (materiel)/Hukum Pidana (materiel)

4) Administratiefrecht (materiel) dan formell)/Hukum Administrasi Negara (materiel dan formeel), meliputi:

a. Bestuursrecht (hukum pemerintahan)
b. Justitierecht (hukum peradilan) yang meliputi:
1. Staatsrechterlijeke rechtspleging (formeel staatsrecht/Peradilan Tata Negara)
2. Administrative rechtspleging (formeel administratiefrecht/Peradilan Administrasi Negara)
3. Burgerlijeke rechtspleging/Hukum Acara Perdata
4. Strafrechtspleging/Hukum Acara Pidana
5) Politierecht (Hukum Kepolisian)6) Regelaarsrecht (Hukum Proses Perundang-Undangan)

Lebih lanjut Victor M. Situmorang (1989:27-37) menyebutkan ada beberapa teori dari lapangan administrasi negara, yang tentunya sangat tergantung pada perkembangan dari suatu sistem pemerintahan yang dianut oleh negara yang bersangkutan, dan ini sangat menentukan lapangan atau kekuasaan Hukum Administrasi Negara.

1. Teori Ekapraja (Ekatantra)Teori ini ada dalam negara yang berbentuk sistem pemerintahan monarki absolut, dimana seluruh kekuasaan negara berada di tangan satu orang yaitu raja. Raja dalam sistem pemerintahan yang monarki absolut memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan (legislatif), menjalankan (eksekutif) dan mempertahankan dalam arti mengawasi (yudikatif). Dalam negara yang berbentuk monarki absolut ini Hukum Administrasi negara berbentuk instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan oleh aparat negara (sistem pemerintahan yang sentralisasi dan konsentrasi). Lapangan pekerjaan administrasi negara atau hukum administrasi negara hanya terbatas pada mempertahankan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh raja, dalam arti alat administrasi negara hanya merupakan “machtsapparat” (alat kekuatan) belaka. Oleh sebab itu dalam negara yang demikian terdapat hanya satu macam kekuasaan saja yakni kekuasaan raja, sehingga pemerintahannya sering disebut pemerintahan Eka Praja (Danuredjo, 1961:25).

2. Teori Dwipraja (Dwitantra)Hans Kelsen membagi seluruh kekuasaan negara menjadi dua bidang yaitu:
1) Legis Latio, yang meliputi “Law Creating Function”, dan
2) Legis Executio, yang meliputi:a. Legislative powerb.

Judicial powerLegis Executio ini bersifat luas, yakni melaksanakan “The Constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif, maka mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial power. Lebih lanjut Hans Kelsen kemudian membagi kekuasaan administratif tersebut menjadi dua bidang yang lebih lanjut disebut sebagai Dichotomy atau Dwipraja atau Dwitantra, yaitu:

1) Political Function (Government), dan

2) Administrative Function (Verwaltung atau Bestuur).

Seorang Sarjana dari Amerika Serikat yaitu Frank J. Goodnow membagi seluruh kekuasaan pemerintahan dalam dichotomy, yaitu:

a) Policy making, yaitu penentu tugas dan haluan, dan
b) Task Executing, yaitu pelaksana tugas dan haluan negara.

Sementara itu A.M. Donner juga membedakan dua kekuasaan pemerintahan, yaitu:

1) kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara, dan

2) Kekuasaan yang menyelenggarakan tugas yang telah ditentukan atau merealisasikan politik negara yang telah ditentukan sebelumnya (verwezenlijkking van de taak). Teori yang membagi fungsi pemerintahan dalam dua fungsi seperti tersebut di atas disebut dengan Teori Dwipraja.

3. Teori Tripraja (Trias Politica)

John Locke dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, membagi tiga kekuasaan dalam negara yang berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yaitu:

1) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundangan

2) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya juga kekuasaan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu kekuasaan pengadilan (yudikatif).

3) Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat alliansi dan sebagainya atau misalnya kekuasaan untuk mengadakan hubungan antara alat-alat negara baik intern maupun ekstern.

Pada tahun 1748, Filsuf Perancis Montesquieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke dalam bukunya “L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Montesquieu juga membagi kekuasaan negara menjadi tiga yaitu:

1) kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang

2) kekuasaan eksekutif, yaitu meliputi penyelenggaraan undang-undang (terutama tindakan di bidang luar negeri).

3) kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili pelanggaran atas undang-undang.

Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, dan sebaliknya kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.

Lebih lanjut Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah, sehingga diharapkan akan terwujudnya jaminan bagi kemerdekaan setiap individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

Sistem pemerintahan dimana kekuasaan yang ada dalam suatu negara dipisahkan menjadi tiga kekuasaan tersebut di atas dikenal dengan teori Tripraja.

4. Teori Catur Praja

Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu:

1) Fungsi memerintah (bestuur)Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.

2) Fungsi polisi (politie)Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara.

3) Fungsi mengadili (justitie)Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.

4) Fungsi mengatur (regelaar)Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara.

5. Teori Panca Praja

Dr. JR. Stellinga dalam bukunya yang berjudul “Grondtreken Van Het Nederlands Administratiegerecht”, membagi fungsi pemerintahan menjadi lima fungsi yaitu:

1) Fungsi perundang-undangan (wetgeving),

2) Fungsi pemerintahan (Bestuur),

3) Fungsi Kepolisian (Politie),

4) Fungsi Peradilan (Rechtspraak),

5) Fungsi Kewarganegaraan (Burgers). Lemaire juga membagi fungsi pemerintahan menjadi lima, yaitu:

1) Bestuurszorg (kekuasaan menyelenggarakan kesejahteraan umum),

2) Bestuur (kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit),

3) politie (Kekuasaan polisi),

4) Justitie (kekuasaan mengadili), dan

5) reglaar (kekuasaan mengatur).

6. Teori Sad Praja

Teori Sad Praja ini dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi 6 kekuasaan, yaitu:

1) kekuasaan pemerintah

2) kekuasaan perundangan

3) kekuasaan pengadilan

4) kekuasaan keuangan

5) kekuasaan hubungan luar negeri

6) kekuasaan pertahanan dan keamanan umum